Saturday, March 3, 2018

[Cerpen] Cerita Pendek Inspirasi

PELAJARAN BERHARGA DARI ANAK PENJUAL MANISAN

Hari Minggu ini cuaca cukup panas. Raja siang memancarkan cahayanya yang terik. Angin yang menerpa terasa perih dan kering. Musim kemarau kali ini memang benar-benar panjang. Rasanya malas sekali keluar rumah dengan suasana seperti itu. Aku melirik jam yang menunjukkan pukul dua siang. Hari ini Aku harus ke toko membeli perlengkapan kantor yang sudah beberapa hari kutunda. Kalau saja persediaan di kantorku belum habis sama sekali, mungkin kutunda lagi rencana itu. Rasanya rugi kalau kalau tidak mengisi hari Minggu dengan bermalas-malasan di rumah, nonton TV sepuasnya atau berkaraoke ria. Apalagi Aku sudah bekerja keras dari hari Senin hingga Sabtu. Tapi apa boleh buat, Aku tak mungkin menundanya lagi. Terpaksa rasa malas itu kubuang jauh-jauh dan bersiap-siap untuk pergi.
Setelah berdandan seadanya, Aku pun keluar rumah sambil mengipas tubuhku dengan sebuah kipas kecil. Di luar rumah,cuaca terasa makin panas.Keringat mulai bercucuran. Setelah hampir dua jam keluar-masuk toko-toko yang menjual perlengkapan kantor, barulah semua yang ku cari terpenuhi. Di tambah waktu dua puluh menit untuk mengantre di Kasir, berarti hari liburku kali ini akan berlalu tanpa bisa beristirahat dan melakukan hobiku seperti masak-memasak. Aku pun jadi sedikit kecewa.
Setelah menunggu dengan perasaan kesal, akhirnya tiba juga giliranku di kasir. Setelah membayar, Aku segera membawa barang belajaanku untuk mencari Taksi. Sambil menunggu iseng-iseng Aku membeli manisan yang dijajakan seorang anak lelaki berusia sekitar delapan tahunan. Munkin karena kelelahan, dia tertidur sambil menunggui dagangannya.
 “Dik...dik! Beli manisannya,”Aku membangunkannya pelan.
“O...o... iya. Silahkan Bu,” Jawabnya ketika terbangun.
Buru-buru ia menyeka keringatnya dengan sebuah handuk kecil. Matanya merah dan mukanya terlihat pucat. Sepertinya ia sadar kalau Aku memperhatikannya.
“Kepalaku sakit, Kak. Sakit sekali.” Ia terus melap keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.
“Kalau sakit kanapa tidak pulang, Dik ?” Ujarku perihatin.
“Tapi penjualanku hari ini belum cukup. Nanti Aku tidak dapat bonus dari Bos. Kan lusa harus bayar uang sekolah, Kak,” jawabnya.
Kulihat mata anak itu berbinar saat mengucapkan kalimat tersebut. Kalimat yang Aku yakin memotivasinya bertahan menunggui dagangan di tengah panas yang menyangat sambila menahan sakit kepalanya. Aku terkesiama. Tanpa kusadari bulir bening menetes di pelupuk mataku.
“Kurang berapa lagi hari ini, Dik?”
“Masih delapan Kak, padahal sudah sore ya?”. Ujarnya sambil menatap ke arah matahari yang mulai condong ke arah barat.
Kulihat wajah Anak itu mulai putus asa. Aku lalu menyodorkan lembar sepuluh ribuan dan mengambil manisannya dua bungkus. Saat itu sebuah taksi lewat, Aku pun segera menghentikannya.
“Kembaliannya ambil saja, Dik. Supaya kamu bisa segera pulang,” kataku sambil memasuki taksi tersebut.
Sempat terdengar olehku, Anak itu berkata girang,”Wah, terima kasih, Kak. Terima kasih banyak!”
Ia melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Saat Aku menutup pintu mobil, kulihat Anak itu segera mengemasi barang dagangannya. Sepanjang jalan Aku merenung. Anak seumuran itu ternyata sudah bisa berpikir tentang tanggung jawab. Masih terbayang di benakku raut wajahnya saat mengucapkan ’Kan lusa harus bayar uang sekolah, Kak’.
Kubandingkan dengan yang terjadi padaku tadi ketika akan keluar rumah hari ini. Aku merasa sangat malas bahkan hampir saja membatalkannya. Padahal yang kulakukan bukanlah pekerjaan yang berat, bahkan bagi sebagian orang justru dianggap refreshing. Aku merasa malu pada Anak itu.
Tak ada satu orang pun di dunia ini yang berharap terlahir dan menjalani hidup sebagai orang miskin. Meskipun demikian, Aku yakin kemiskinan bukanlah suatu kenistaan yang harus disesali. Kerasnya kehidupan justru bisa menempa dan membentuk seseorang menjadi pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab. Dan juga bisa menumbuhkan rasa ingin berbagi di saat mendapat kelapangan, karena pernah merasakan bagaimana pahitnya menjadi orang miskin. Aku lalu berjanji pada diriku sendiri, tidak akan pernah menyia-nyiakan keberuntungan yang kuperoleh. Aku jauh lebih beruntung dibandingkan Anak kecil penjual manisan itu yang harus melewati hari liburnya untuk mencari uang, sedangkan Aku masih punya hari Minggu yang lain untuk bermalas-malasan.

0 comments:

Post a Comment

 

Blognya Alviana Anugrah Template by Ipietoon Cute Blog Design