PELAJARAN
BERHARGA DARI ANAK PENJUAL MANISAN
Hari Minggu ini cuaca cukup
panas. Raja siang memancarkan cahayanya yang terik. Angin yang menerpa terasa
perih dan kering. Musim kemarau kali ini memang benar-benar panjang. Rasanya
malas sekali keluar rumah dengan suasana seperti itu. Aku melirik jam yang
menunjukkan pukul dua siang. Hari ini Aku harus ke toko membeli perlengkapan
kantor yang sudah beberapa hari kutunda. Kalau saja persediaan di kantorku
belum habis sama sekali, mungkin kutunda lagi rencana itu. Rasanya rugi kalau
kalau tidak mengisi hari Minggu dengan bermalas-malasan di rumah, nonton TV
sepuasnya atau berkaraoke ria. Apalagi Aku sudah bekerja keras dari hari Senin
hingga Sabtu. Tapi apa boleh buat, Aku tak mungkin menundanya lagi. Terpaksa rasa
malas itu kubuang jauh-jauh dan bersiap-siap untuk pergi.
Setelah berdandan seadanya, Aku
pun keluar rumah sambil mengipas tubuhku dengan sebuah kipas kecil. Di luar
rumah,cuaca terasa makin panas.Keringat mulai bercucuran. Setelah hampir dua
jam keluar-masuk toko-toko yang menjual perlengkapan kantor, barulah semua yang
ku cari terpenuhi. Di tambah waktu dua puluh menit untuk mengantre di Kasir,
berarti hari liburku kali ini akan berlalu tanpa bisa beristirahat dan
melakukan hobiku seperti masak-memasak. Aku pun jadi sedikit kecewa.
Setelah menunggu dengan perasaan
kesal, akhirnya tiba juga giliranku di kasir. Setelah membayar, Aku segera
membawa barang belajaanku untuk mencari Taksi. Sambil menunggu iseng-iseng Aku
membeli manisan yang dijajakan seorang anak lelaki berusia sekitar delapan
tahunan. Munkin karena kelelahan, dia tertidur sambil menunggui dagangannya.
“Dik...dik! Beli manisannya,”Aku
membangunkannya pelan.
“O...o... iya. Silahkan Bu,”
Jawabnya ketika terbangun.
Buru-buru ia menyeka keringatnya
dengan sebuah handuk kecil. Matanya merah dan mukanya terlihat pucat.
Sepertinya ia sadar kalau Aku memperhatikannya.
“Kepalaku sakit, Kak. Sakit
sekali.” Ia terus melap keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.
“Kalau sakit kanapa tidak pulang,
Dik ?” Ujarku perihatin.
“Tapi penjualanku hari ini belum
cukup. Nanti Aku tidak dapat bonus dari Bos. Kan lusa harus bayar uang sekolah,
Kak,” jawabnya.
Kulihat mata anak itu berbinar
saat mengucapkan kalimat tersebut. Kalimat yang Aku yakin memotivasinya bertahan
menunggui dagangan di tengah panas yang menyangat sambila menahan sakit
kepalanya. Aku terkesiama. Tanpa kusadari bulir bening menetes di pelupuk
mataku.
“Kurang berapa lagi hari ini,
Dik?”
“Masih delapan Kak, padahal sudah
sore ya?”. Ujarnya sambil menatap ke arah matahari yang mulai condong ke arah
barat.
Kulihat wajah Anak itu mulai
putus asa. Aku lalu menyodorkan lembar sepuluh ribuan dan mengambil manisannya
dua bungkus. Saat itu sebuah taksi lewat, Aku pun segera menghentikannya.
“Kembaliannya ambil saja, Dik.
Supaya kamu bisa segera pulang,” kataku sambil memasuki taksi tersebut.
Sempat terdengar olehku, Anak itu
berkata girang,”Wah, terima kasih, Kak. Terima kasih banyak!”
Ia melambai-lambaikan tangannya
ke arahku. Saat Aku menutup pintu mobil, kulihat Anak itu segera mengemasi
barang dagangannya. Sepanjang jalan Aku merenung. Anak seumuran itu ternyata
sudah bisa berpikir tentang tanggung jawab. Masih terbayang di benakku raut
wajahnya saat mengucapkan ’Kan lusa harus bayar uang sekolah, Kak’.
Kubandingkan dengan yang terjadi
padaku tadi ketika akan keluar rumah hari ini. Aku merasa sangat malas bahkan
hampir saja membatalkannya. Padahal yang kulakukan bukanlah pekerjaan yang
berat, bahkan bagi sebagian orang justru dianggap refreshing. Aku merasa malu pada Anak itu.
Tak ada satu orang pun di dunia
ini yang berharap terlahir dan menjalani hidup sebagai orang miskin. Meskipun
demikian, Aku yakin kemiskinan bukanlah suatu kenistaan yang harus disesali.
Kerasnya kehidupan justru bisa menempa dan membentuk seseorang menjadi pribadi
yang mandiri dan bertanggung jawab. Dan juga bisa menumbuhkan rasa ingin
berbagi di saat mendapat kelapangan, karena pernah merasakan bagaimana pahitnya
menjadi orang miskin. Aku lalu berjanji pada diriku sendiri, tidak akan pernah
menyia-nyiakan keberuntungan yang kuperoleh. Aku jauh lebih beruntung
dibandingkan Anak kecil penjual manisan itu yang harus melewati hari liburnya
untuk mencari uang, sedangkan Aku masih punya hari Minggu yang lain untuk
bermalas-malasan.
0 comments:
Post a Comment