A.
Mudharabah
1. Pengertian
Mudharabah
Kata Mudharabah secara etimologi berasal dari kata darb.
Dalam bahasa Arab, kata ini termasuk diantara kata yang mempunyai banyak arti.
Diantaranya memukul, berdetak, mengalir, berenang, bergabung, menghindar
berubah, mencampur, berjalan, dan lain sebagainya. Perubahan makna tersebut
bergantung pada kata yang mengikutinya dan konteks yang membentuknya.
Menurut terminologis, mudharabah diungkap secara bermacam-macam oleh
para ulama madzhab. Diantaranya menurut madzhab Hanafi, “ suatu perjanjian
untuk berkongsi didalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan kerja
(usaha) dari pihak lain.” Sedangkan madzhab Maliki menamainya sebagai
penyerahan uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan
kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan
sebagian dari keuntungannya.
Ulama Hijaz menamakan mudharabah, qiradh. Menurut Jumhur, mudharabah adalah
bagian dari musyarakah.Dalam merumuskan pengertian mudharabah, Wahbah
Az-Zuhaily mengemukakan: Pemilik modal menyerahkan hartanya kepada pengusaha
untuk diperdagangkan dengan pembagian keuntungan yang disepakati dengan
ketentuan bahwa kerugian ditanggung oleh pemilik modal, sedangkan pengusaha
tidak dibebani kerugian sedikitpun, kecuali kerugian berupa tenaga dan
kesungguhannya.
Menurut Latifa M.Algaoud dan Mervyn K.Lewis, mudharabah dapat didefinisikan
sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak, dimana satu
pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau rabb al-mal), mempercayakan sejumlah
dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas
atau usaha. Menurut Afzalur Rahman sebagaimana dikutip oleh Gemala Dewi dkk.,
syirkah mudharabah atau qiradh, yaitu berupa kemitraan terbatas adalah
perseroan antara tenaga dan harta, seseorang (pihak pertama/supplier/ pemilik
modal/mudharib) memberikan hartanya kepada pihak lain (pihak
kedua/pemakai/pengelola/dharib) yang digunakan untuk bisnis, dengan ketentuan
bahwa keuntungan (laba) yang diperoleh akan dibagi oleh masing-masing pihak
sesuai dengan kesepakatan. Bila terjadi kerugian, maka ketentuannya berdasarkan
syara‟ bahwa kerugian dalam mudharabah dibebankan kepada harta, tidak
dibebankan sedikitpun kepada pengelola, yang bekerja.
Al Qur’an membolehkan Mudharabah ini dengan mengambil dasar QS. Al
Muzammil ayat 20 : “ …..dan orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari
sebagian karunia Allah SWT “.Dalam ayat tersebut terdapat kata yadribun
yang asal katanya sama dengan mudharabah, yakni dharaba yang
berarti mencari pekerjaan atau menjalankan usaha.
Secara umum, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah
mutlaqah (Unrestricted Investment Account) dan mudharabah
muqoyyadhah (Restricted Investment Account).
a.
Mudharabah
Mutlaqah (bebas)
Mudharabah Mutlaqah atau disebut dengan (Unrestricted
Investment Account) adalah akad kerja antara dua orang atau lebih, atau
antara shahibul maal selaku investor dengan mudharib selaku
pengusaha yang berlaku secara luas. Atau dengan kata lain pengelola (mudharib)
mendapatkan hak keleluasaan (disrectionary right) dalam pengelolaan
dana, jenis usaha, daerah bisnis, waktu usaha, maupun yang lain.
b.
Mudharabah
Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu
kerjasama dua orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor
dengan pengusaha atau mudharib, investor memberikan batasan tertentu
baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis instrumen, resiko, maupun
pembatasan lain yang serupa.
2. Syarat dan
Rukun Akad Pembiayaan Mudharabah
a. Syarat Akad
Pembiayaan Mudharabah
Menurut Sayyid Sabiq, mudharabah harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
· Bahwa modal
itu harus berbentuk uang tunai, jika ia berbentuk barang perhiasan, emas,
perak, atau barang dagangan, maka tidak sah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Munzir, “ Semua orang yang ilmunya kami jaga /hafal sepakat, bahwa
seseorang tidak boleh menjadikannya sebagai hutang bagi orang lain untuk suatu mudharabah.
Namun jika modal itu berupa barang yang akan diperdagangkan harus dihitung ke
dalam nilai uang.
· Bahwa ia
diketahui dengan jelas. Maksudnya agar dapat dibedakan modal yang
diperdagangkan dengan keuntungan yang diperoleh, untuk kedua belah pihak sesuai
dengan kesepakatan pada waktu akad.
· Keuntungan
yang menjadi hak pengelola usaha dengan investor harus jelas nisbahnya
(prosentasenya). Nabi Muhammad pernah bermudharabah dengan penduduk
Khaibar, dengan mengambil separo dari keuntungannya. Motif dari perlunya nisbah
ini ialah untuk menghindari kerugian tertentu dari pihak yang bermudharabah,
jika yang ditetapkan besaran nilai uang, bukan prosentase, karena bisa jadi
keuntungannya menurun sedangkan biayanya tetap.
· Menurut
Maliki dan Syafii, mudharabah itu bersifat mutlak. Artinya pemilik
modal/investor tidak membatasi kepada pengelola usaha, untuk menggunakannya
dalam usaha apa dan dimana, kapan, dan dengan siapa harus bermuamallah. Namun
Hanafi dan Hambali membolehkan mudharabah baik dengan mutlak
maupun muqoyyad. Baik dengan persyaratan tertentu atau bebas.
b. Rukun Akad
Pembiayaan Mudharabah
Faktor-faktor yang harus ada (rukun) dalam akad mudharabah adalah :
· Pelaku
(pemilik modal maupun pelaksana usaha)
Dalam akad
mudharabah minimal harus ada dua pelaku. Pihak pertama bertindak selaku pemilik
modal (shahib al-mal), sedangkan pihak kedua bertindak sebagai pelaksana
usaha (mudharib atau ‘amil). Tanpa dua pelaku ini, maka akad mudharabah
tidak ada.
· Obyek
mudharabah (modal dan kerja)
Obyek
mudharabah merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang dilakukan oleh para
pelaku. Pemilik modal menyerahkan modalnya sebagai obyek mudharabah, sedangkan
pelaksana usaha menyerahkan kerjanya sebagai obyek mudharabah. Modal yang
diserahkan bisa berbentuk uang atau barang yang dirinci berapa nilai uangnya.
Sedangkan kerja yang diserahkan bisa berbentuk keahlian, ketrampilan, selling
skill, management skill, dan lain-lain.
· Persetujuan
kedua belah pihak (ijab- qobul)
Faktor
ketiga yaitu persetujuan kedua belah pihak merupakan konsekuensi dari prinsip
at-taraddin minkum (sama-sama rela). Disini kedua belah pihak harus secara rela
bersepakat untuk mengikatkan diri dalam akad mudharabah. Si pemilik dana setuju
dengan perannya untuk mengkontribusikan dana sedangkan pelaksana usaha pun
setuju dengan perannya untuk mengkontribusikan kerja.
· Nisbah
keuntungan
Faktor yang
keempat yaitu Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah. Faktor
inilah yang membedakan akad mudharabah dengan akad jual beli. Nisbah ini
mencerminkan imbalan yang berhak diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah.
Mudharib mendapatkan imbalan atas kerjanya, sedangkan shahib al-māl mendapat
imbalan atas penyertaan modalnya.
3. Pengakuan Dan Pengukuran
Pengukuran
investasi mudharabah adalah sebagai berikut:
a.) investasi mudharabah dalam bentuk
kas diukur sebesar jumlah yang diberikan pada saat pembayaran;
Pencatatan jurnalnya adalah sebagai berikut:
Pembiayaan Mudharabah
xxx
Kas
xxx
b.) investasi mudharabah dalam bentuk
aset nonkas diukur sebesar nilai wajar aset nonkas pada saat penyerahan:
i.
jika nilai wajar lebih rendah daripada nilai tercatatnya
maka selisihnya diakui sebagai kerugian;
Pencatatan Jurnalnya adalah sebagai berikut:
Pembiayaan Mudharabah
xxx
Kerugian Penurunan Nilai
xxx
Aset
Mudharabah
xxx
ii. jika nilai wajar lebih tinggi
daripada nilai tercatatnya maka selisihnya diakui sebagai keuntungan
tangguhan dan diamortisasi sesuai jangka waktu akad mudharabah.
Pencatatan Jurnalnya adalah sebagai berikut:
Pembiayaan
Mudharabah
xxx
Keuntungan
Tanguhan
xxx
Aset
Mudharabah
xxx
Sedangkan Jurnal Amortisasinya
adalah:
Keuntungan
Tangguhan
xxx
Keuntungan
Mudharabah
xxx
c.) Jika nilai investasi mudharabah
turun sebelum usaha dimulai disebabkan rusak, hilang atau faktor lain yang
bukan kelalaian atau kesalahan pihak pengelola dana, maka penurunan
nilai tersebut diakui sebagai KERUGIAN dan mengurangi saldo investasi
mudharabah.
Pencatatan Jurnalnya adalah sebagai berikut:
Kerugian Pembiayaan
Mudharabah xxx
Investasi
Mudharabah
xxx
d.) Jika sebagian investasi mudharabah
hilang setelah dimulainya usaha bukan karena kelalaian atau
kesalahan pengelola dana, maka kerugian tersebut diperhitungkan pada saat
penerimaan bagian bagi hasil.
Pencatatan Jurnal pada saat menerimaa bagian bagi hasil
adalah sebagai berikut:
Kas xxx
Kerugian Mudharabah
xxx
Pendapatan Bagi Hasil
Mdhrbh xxx
e.) Jika akad mudharabah berakhir
sebelum atau saat akad jatuh tempo dan belum dibayar oleh pengelola dana, maka
investasi mudharabah diakui sebagai piutang jatuh tempo.
Pencatatan Jurnalnya adalah sebagai
berikut:
Piutang Jatuh Tempo
xxx
Investasi
Mudharabah
xxx
f.) Kerugian yang terjadi dalam suatu
periode sebelum akad mudharabah berakhir diakui sebagai kerugian dan dibentuk penyisihan
kerugian investasi.
Pencatatan Jurnalnya adalah sebagai
berikut:
Kerugian Mudharabah
xxx
Penyisihan
Kerugian Mdhrbh xxx
g.) Pada saat akad mudharabah berakhir,
harus diperhatikan selisih antara kas/aset nonkas dengan Investasi Mudharabah
yang sudah dikurangi dengan penyisihan kerugian investasi mudharabah.
Apabila selisih tersebut bernilai positif, berarti terdapat keuntungan mudharabah. Sebaliknya apabila bernilai negatif maka terjadi kerugian mudharabah.
Pencatatan Jurnal sebagai berikut:
Kas/aset
nonkas
xxx
Penyisihan Kerugian Investasi
Mudharabah xxx
Investasi
Mudharabah
xxx
Keuntungan
Mudharabah
xxx
Atau
Kas/aset
nonkas
xxx
Penyisihan Kerugian Invstasi
Mudharabah xxx
Kerugian
Mudharabah
xxx
Investasi
Mudharabah
xxx
B.
Musyarakah
1. Pengertian
Secara bahasa musyarakah berarti mencampur. Dalam hal ini mencampur satu
modal dengan modal yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Dalam istilah fikih syirkah adalah suatu akad antara dua orang atau lebih untuk
berkongsi modal dan bersekutu dalam keuntungan.
Menurut Hanafiyah syirkah adalah: Perjanjian antara dua pihak
yang bersyarikat mengenai pokok harta dan keuntungannya.
Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah:
Keizinan untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing
mengizinkan pihak lainnya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara
kedua belah pihak, disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta
tersebut) bagi masing-masing.
Menurut Hanabilah: Berkumpul dalam berhak dan berbuat
hukum.
Sedangkan menurut Syafi‟iyah: Tetapnya hak tentang sesuatu terhadap
dua pihak atau lebih secara merata.
Menurut Latifa M.Algoud dan Mervyn K. Lewis: Musyarakah
adalah kemitraan dalam suatu usaha, dimana dua orang atau lebih menggabungkan
modal atau kerja mereka, untuk berbagi keuntungan, menikmati hak-hak dan
tanggung jawab yang sama. Sedangkan menurut Sofiniyah Ghufron dkk.,
al-musyarakah atau syirkah adalah akad kerjasama usaha patungan antara dua
pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan
produktif, di mana keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan.
Meskipun rumusan yang dikemukakan para ahli tersebut redaksional berbeda,
namun dapat difahami intinya bahwa syirkah “adalah perjanjian kerjasama antara
dua pihak atau beberapa pihak, baik mengenai modal ataupun pekerjaan atau usaha
untuk memperoleh keuntungan bersama”.
Dasar hukum musyarakah antara lain firman Allah pada Surat An-Nisak ayat 12
yang artinya: “Dan jika saudara-saudara itu lebih dua orang, maka mereka
bersyarikat pada yang sepertiga itu”,.dan juga hadits Nabi SAW yang berbunyi:
Artinya : “Saya yang ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah
satunya tidak mengkhianati yang lain, tetapi apabila salah satunya mengkhianati
yang lain, maka aku keluar dari keduanya. HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh
Al-Hakim.
2. Landasan
Syariah
Akad syirkah ini mendapatkan landasan syariahnya dari al-Qur’an, hadis dan
ijma’.
a. Dari
al-Qur’an
”Maka mereka berserikat dalam
sepertiga” Q.S. An-Nisa’ : 12. Ayat ini sebenarnya tidak memberikan landasan
syariah bagi semua jenis syirkah, ia hanya memberikan landasan kepada syirkah
jabariyyah ( yaitu perkongsian beberapa orang yang terjadi di luar kehendak
mereka karena mereka sama-sama mewarisi harta pusaka).
” Dan sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berkongsi itu benar-benar berbuat zalim kepada sebagian
lainnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh”. Q.S.
Shod: 24. Ayat ini mencela perilaku orang-orang yang berkongsi atau berserikat
dalam berdagang dengan menzalimi sebagian dari mitra mereka. Kedua ayat
al-Qur’an ini jelas menunjukkan bahwa syirkah pada hakekatnya diperbolehkan
oleh risalah-risalah yang terdahulu dan telah dipraktekkan.
b. Dari Sunnah
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman : Aku adalah
mitra ketiga dari dua orang yang bermitra selama salah satu dari kedunya tidak
mengkhianati yang lainnya. Jika salah satu dari keduanya telah mengkhianatinya,
maka Aku keluar dari perkongsian itu”. H. R. Abu Dawud dan al-Hakim. Arti hadis
ini adalah bahwa Allah SWT akan selalu bersama kedua orang yang berkongsi dalam
kepengawasanNya, penjagaanNya dan bantuanNya. Allah akan memberikan bantuan
dalam kemitraan ini dan menurunkan berkah dalam perniagaan mereka. Jika
keduanya atau salah satu dari keduanya telah berkhianat, maka Allah
meninggalkan mereka dengan tidak memberikan berkah dan pertolongan sehingga
perniagaan itu merugi. Di samping itu masih banyak hadis yang lain yang
menceritakan bahwa para sahabat telah mempraktekkan syirkah ini sementara
Rasulullah SAW tidak pernah melarang mereka. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
Rasulullah telah memebrikan ketetapan kepada mereka.
c. Ijma’
Kaum Muslimin telah sepakat dari
dulu bahwa syirkah diperbolehkan, hanya saja mereka berbeda pandangan dalam
hukum jenis-jenis syirkah yang banyak variasinya itu.
3. Macam-macam
musyarakah
Secara garis besar musyarakah terbagi dua, yang pertama musyarakah tentang
kepemilikan bersama, yaitu musyarakah yang terjaIi tanpa adanya akad antara
kedua pihak. Ini ada yang atas perbuatan manusia, seperti secara bersama-sama
menerima hibah atau wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia,
seperti bersama-sama menerima hibah atau menerima wasiat, dan ada pula yang
tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menjadi ahli waris.
Bentuk kedua adalah musyarakah yang lahir karena akad atau perjanjian
antara pihak-pihak (syirkah al-“uqud). Ini ada beberapa macam:
a.
Syirkah Inan
Syirkah Inan adalah Kerjasama antara
2 pihak atau lebih, setiap pihak menyumbangkan modal dan menjalankan usaha atau
bisnis.
Contoh bagi syirkah inan: Ibrahim
dan Omar bekerjasama menjalankan perniagaan burger bersama-sama dan
masing-masing mengeluarkan modal 1 juta rupiah. Kerja sama ini diperbolehkan
berdasarkan As-Sunnah dan ijma’ sahabat. Disyaratkan bahwa modal yang dikongsi
adalah berupa uang. Modal dalam bentuk harta benda separti kereta/gerobak harus
diakadkan pada awal transaksi. Kerja sama ini dibangunkan oleh konsep
perwakilan(wakalah) dan kepercayaan(amanah). Sebab masing-masing pihak
memberi/berkongsi modal kepada rekan kerjanya berarti telah memberikan
kepercayaan dan mewakilkan usaha atau bisnisnya untuk dikelola.
Keuntungan usaha berdasarkan kesepakatan
semua pihak yang bekerjasama, manakala kerugian berdasarkan peratusan modal
yang dikeluarkan. Abdurrazzak dalam kitab Al-Jami’ meriwayatkan dari Ali ra.
yang mengatakan: “Kerugian bergantung kepada modal, sedangkan keuntungan
bergantung kepada apa yang mereka sepakati”
b.
Syirkah Abdan
Syirkah Abdan adalah kerjasama 2
orang atau lebih yang hanya melibatkan tenaga(badan) mereka tanpa kerjasama
modal.
Sebagai contoh: Jalal adalah Ahli
bangunan rumah dan Rafi adalah Ahli elektrik yang berkerjasama menyiapkan
projek mebangun sebuah rumah. Kerjasama ini tidak harus mengeluarkan uang atau
biaya. Keuntungan adalah berdasarkan persetujuan mereka.
Syirkah abdan hukumnya mubah
berdasarkan dalil As-sunnah. Ibnu mas’ud pernah berkata “Aku berkerjasama
dengan Ammar bin Yasir dan Saad bin Abi Waqqash mengenai harta rampasan perang
badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan sementara aku dan Ammar tidak membawa
apa pun” (HR Abu Dawud dan Atsram). Hadist ini diketahui Rasulullah saw dan
membenarkannya.
c.
Syirkah Mudharabah
Syirkah Mudharabah adalah syirkah
dua pihak atau lebih dengan ketentuan. satu pihak menjalankan kerja (amal)
sedangkan pihak lain mengeluarkan modal (mal). (An-Nabhani, 1990: 152).
Istilah mudharabah dipakai oleh
ulama Iraq, sedangkan ulama Hijaz menyebutnya qiradh. (Al-Jaziri, 1996: 42;
Az-Zuhaili, 1984: 836). Sebagai contoh: Khairi sebagai pemodal memberikan
modalnya sebanyak 500 ribu kepada Abu Abas yang bertindak sebagai pengelola
modal dalam pasaraya ikan.
Ada 2 bentuk lain sebagai variasi
syirkah mudharabah: Pertama, 2 pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan
mengeluarkan modal sementara pihak ketiga (katakanlah C) memberikan menjalankan
kerja sahaja. Kedua, pihak pertama (misalnya A) memberikan konstribusi modal
dan kerja sekaligus, sedangkan pihak kedua (misalnya B) hanya memberikan
konstribusi modal tanpa konstribusi kerja.
Kedua-dua bentuk syirkah ini masih
tergolong dalam syirkah mudharabah (An-Nabhani, 1990:152). Dalam syirkah
mudharabah, hak melakukan tasharruf hanyalah menjadi hak pengelola. Pemodal
tidak berhak turut campur dalam tasharruf. Namun demikian, pengelola terikat
dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal. Jika ada keuntungan, ia
dibagi sesuai kesepakatan di antara pemodal dan pengelola, sedangkan kerugian
ditanggung hanya oleh pemodal. Sebab, dalam mudharabah berlaku wakalah
(perwakilan), sementara seorang wakil tidak menanggung kerusakan harta atau
kerugian dana yang diwakilkan kepadanya (An-Nabhani, 1990: 152). Namun
demikian, pengelola turut menanggung kerugian jika kerugian itu terjadi kerana
melanggar syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemodal.
d.
Syirkah Wuju
Disebut Syirkah Wujuh kerana
didasarkan pada kedudukan, ketokohan atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah
masyarakat. Syirkah wujuh adalah syirkah antara 2 pihak (misalnya A dan B) yang
sama-sama melakukan kerja (amal), dengan pihak ketiga (misalnya C) yang
mengeluarkan modal (mal). Dalam hal ini, pihak A dan B adalah tokoh masyarakat.
Syirkah semacam ini hakikatnya
termasuk dalam syirkah mudharabah sehingga berlaku ketentuan-ketentuan syirkah
mudharabah padanya. (An-Nabhani, 1990:154) Bentuk kedua syirkah wujuh adalah
syirkah antara 2 pihak atau lebih yang bersyirkah dalam barang yang mereka beli
secara kredit, atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya tanpa sumbangan
modal dari masing-masing pihak. Misalnya A dan B tokoh yang dipercayai
pedagang. Lalu A dan B bersyirkah wujuh dengan cara membeli barang dari seorang
pedagang C secara kredit. A dan B bersepakat masing-masing memiliki 50% dari
barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya
dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang).
Dalam syirkah kedua ini, keuntungan
dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan nisbah barang dagangan yang
dimiliki. Sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing pengusaha wujuh
usaha berdasarkan kesepakatan. Syirkah wujuh kedua ini hakikatnya termasuk
dalam syirkah ‘abdan (An-Nabhani, 1990:154).
Namun demikian, An-Nabhani
mengingatkan bahwa ketokohan (wujuh) yang dimaksud dalam syirkah wujuh adalah
kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah), bukan semata-mata ketokohan di
masyarakat. Maka dari itu, tidak sah syirkah yang dilakukan seorang tokoh
(katakanlah seorang menteri atau pedagang besar), yang dikenal tidak jujur atau
suka memungkiri janji dalam urusan keuangan. Sebaliknya sah syirkah wujuh yang
dilakukan oleh seorang biasa-biasa saja, tetapi oleh para pedagang dia dianggap
memiliki kepercayaan keuangan (tsiqah maliyah) yang tinggi misalnya dikenal
jujur dan tepat janji dalam urusan keuangan.
e.
Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadhah adalah syirkah
antara 2 pihak atau lebih yang menggabungkan semua jenis syirkah di atas
(syirkah inan, ‘abdan, mudharabah dan wujuh).
Syirkah mufawadhah dalam pengertian
ini, menurut An-Nabhani adalah boleh. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah
berdiri sendiri maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.
Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya; yaitu ditanggung oleh pemodal sesuai
dengan nisbah modal (jika berupa syirkah inan) atau ditanggung pemodal saja
(jika berupa syirkah mudharabah) atau ditanggung pengusaha usaha berdasarkan
peratusan barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujuh).
Contoh: A adalah pemodal, menyumbang
modal kepada B dan C, dua jurutera awam yang sebelumnya sepakat bahwa
masing-masing melakukan kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk menyumbang
modal untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada
B dan C. Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdan yaitu B dan
C sepakat masing-masing bersyirkah dengan memberikan konstribusi kerja sahaja.
Lalu, ketika A memberikan modal
kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga wujud syirkah mudharabah. Di
sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C
sepakat bahwa masing-masing memberikan suntikan modal di samping melakukan
kerja, berarti terwujud syirkah inan di antara B dan C. Ketika B dan C membeli
barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya berarti
terwujud syirkah wujuh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti
ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada yang disebut syirkah
mufawadhah.
4. Rukun dan
Syarat Syarikat Al-‘Uqud
Menurut Hanafiyah untuk terjadinya syarikah al-‘uqud, maka harus ada ijab
dan qabul. Sedangkan menurut Jumhur, rukunnya ada tiga, yaitu: a. Dua orang
yang berakal sehat, b. Objek yang diperjanjikan dan c. Lafaz akad yang sesuai
dengan isi. Lebih lanjut Jumhur ulama berpendapat bahwa rukun akad pada umumnya
adalah al-‘aqidaini, mahallu al-‘aqd dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun
tersebut, Musthafa Az-Zarqa menambah satu lagi, yakni maudhu’ al-‘uqd (tujuan
akad).
Sedangkan syarat syarikat al-‘uqud pada umumnya adalah:
a. Harus
mengenai tasharuf yang dapat diwakilkan
b. Pembagian
keuntungan yang jelas
c. Pembagian
keuntungan tergantung kepada kesepakatan, bukan kepada besar kecilnya modal
atau kewajiban.
0 comments:
Post a Comment