Friday, March 2, 2018

Cerita Rakyat Bugis ' Dendam Mappadendang'


Dendam Mappadendang
Dendang ala ridendang
Dendang mappadendang
Mappadendang ana’ ogie
Pirasai nyamenna
Nyamenna aresona  .....

Nyanyian yang mengalun merdu dari bibir para gadis berbaju bodo dengan iringan kecapi dan rinai hujan di penghujung Januari siang itu tiba-tiba berhenti. Gemuruh tawa senda penduduk kampung berubah menjadi isak dan jerit histeris. Tak ada yang tahu dari mana arah La Dalle datang.Ia tiba-tiba saja melesat, menembus kerumunan penduduk yang siang itu seolah tak merasa terganggu dengan rinai hujan.
Amukannya membuat acara Mappadendang siang itu kacau. Anak muda yang tadinya secara bergantian naik di atas tojang (ayunan bambu setinggi 10 meteran, tempat menguji nyali orang yang ikut pesta terhadap ketinggian dan  biasanya digunakan tambang untuk mengayunkannya), sebagian mendekat ke tempat kejadian dan sebagian lagi berlari menjauh.Ibu-ibu yang sibuk mempersiapkan nasi yang akan dimakan bersama daging kerbau juga melakukan hal yang sama. Sesekali terdengar jeritan histeris perempuan-perempuan itu. Sementara para lelaki yang baru sejam lalu menyaksikan Puang Leppang (pemangku adat) yang menyembelih kerbau dengan parang tajam berusaha menenangkan La Dalle.
Menurut adat, daging kerbau yang disembelih Puang Leppang itu harus terbagi rata untuk seluruh warga. Tanpa terkecuali.Karena itu adalah lambang kemakmuran dan kebersamaan. Konon katanya, mereka yang tidak kebagian atau tidak ikut menikmati daging kerbau yang dimasak bersama gore kaluku (kelapa parut yang disangrai sampai berwarna cokelat dan ditumbuk hingga halus) ini, rezekinya akan berkurang.
La Dalle menjadikan Kepala Desa sebagai korban pertamanya. Setelah berhasil menembus kerumunan orang, badik warisan bapaknya dihunus begitu melihat Kepala Desa makan daging kerbau bersama warga lain sambil tertawa. Dengan membabi buta diserangnya Kepala Desa yang saat itu sedang lahap makan dan itu yang membuatnya tak bisa mengelak. Beberapa menit kemudian Kepala Desa itu jatuh, tewas berlumpur darah. Seorang gadis yang tadi sempat dilihat La Dalle sejam yang lalu melintas di depan rumahnya, menangis dan memeluk mayat bapaknya itu. Tak puas dengan itu La Dalle juga menyerang warga lainnya yang mencoba untuk menenangkannya.
Kepala Desa dan beberapa warga korban amukannya terkapar.Saat ia mulai kelelahan dan beberapa warga berhasil menangkap tangannya.Seseorang entah dari mana datangnya langsung menghujamkan badik diperutnya, kini giliran La Dalle yang terkapar. Semua warga terkejut dan tak menyangka pemuda berumur tujuh belas tahun, putra pertama Kepala Desa itu begitu nekat.
Melihat La Dalle tewas di tangan putranya, Maryam, istri Kepala Desa Langsung memeluk mayat La Dalle yang terbaring tak jauh dari mayat suaminya.Semua warga yang melihat heran.
“Daeng, anak kita telah membunuhmu. Tapi ia tidak salah,aku yang salah, tidak pernah bercerita tentang kau padanya.Aku juga minta maaf tidak pernah menceritakan ini padamu.Ia anak kita sebelum aku di paksa menikah”. Tanpa disadarinya, cerita itu mengalir begitu saja dari bibir Maryam. Ia menceritakannya sambil menangis dan terdengar sangat lirih.
Ia seolah bercerita pada mayat La Dalle, kekasihnya yang 18 tahun silam begitu dicintainya dan harus ditinggalkannya karena tak sudi bermenantu La Dalle. Apa lagi dengan citra ayah La Dalle yang tidak setia, meninggalkan istri dan anak dengan merantau dan menikah dalam perantauan. Sebuah alasan yang awalnya tak bisa diterima Maryam tapi kemudian perjalanan waktu membuatnya sadar bahwa apa yang dilakukan orang tuanya sangat ketemu nalar.Apalagi untuk orang tua yang tak ingin satu-satunya putrinya menderita. Meski diam-diam ternyata ia masih mencintai lelaki yang semasa hidupnya lebih memilih hidup sendiri itu.Bukti kesetiaan yang tak perlu diragukan.
Sebuah rahasia yang menjadi misteri kehidupan La Dalle akhirnya terungkap juga di hari kematiannya. Saat ia harus meregang nyawa di tangan anak kandungnya sendiri. Hari itu menjadi pesta panen yang paling menyedihkan sekaligus paling tragis sepanjang sejarah.
Masyarakat di lingkunganku masih percaya tentang hal itu. Tiap kali musim panen, biasanya terdengar suara orang-orang yang menyanyikan Mappadendang, serta suara wanita yang menangis yang diyakini sebagai Mariamah yang menangisi kematian La Dalle.



0 comments:

Post a Comment

 

Blognya Alviana Anugrah Template by Ipietoon Cute Blog Design